Bahiyatul
Musfaidah
Bunyi
klakson memekakkan telinga, setiap hari, setiap detik. Tanpa ku tahu pasti
setiap kali klakson mereka bunyikan, ada gulungan-gulungan metafisis, berwarna
hitam pekat keluar dari pori mereka. Terkadang dikolaborasi percikan-percikan
bara merah dari mulut mereka. Aku ngeri melihatnya.
Kegaduhan
ini menang jauh dari senandung embun pagi yang kutinggalkan beberapa tahun
silam, di salah satu dataran tinggi Pulau Jawa. Ya, aku sudah melewat waktu dan
jarak teramat jauh, untuk sekedar menenggak yang kata orang namanya ilmu. Ini
menang jauh dari duniaku di ujung bukit sana. Sekedar untuk duduk di bangku
kelas yang jauh dari kata nyaman pun harus rela naik turun tebing berkali-kali,
melewat pematang sawah becek penuh lumpur. Tapi entah kenapa kondisi seperti
itu justru terasa lebih bersahabat. Bukan terjebak dalam kemacetan
berkepanjangan, bermandikan keringat dan asap polusi. Seakan kondisi ini malas
untuk sekedar menyapa ramah. Dan untuk masalah ini, di sini kalah jauh dari
tanah yang kutinggalkan itu.
Aku
memacu langkahku menyusur koridor lokal dari gedung yang menjulang dengan warna
yang sangat mencolok. Dinding-dindingnya berdiri angkuh, memandang sinis
diriku. Aku balik menantangnya, kau tak tahu bahwa sekarang aku yang menguasaimu?!
Dinding itu menciut.
Langkahku
semakin cepat menurun tangga. Sepatuku beradu dengan lantai putih yang
mengkilap, menciptakan ketukan melodi semakin cepat dan smakin cepat. Lagi-lagi
memotong lalu-lalang, menerobos bunyi klakson dan umpatan-umpatan menjengkelkan.
Lagi-lagi beradu dengan gulungan jiwa hitam. Sebenarnya ini membuatku jemu.
“Semalem
gue pulang jam 1 coba, dan gue
ketauan!” Satu dari beberapa gadis berseragam SMP di depanku berceloteh.
“Elu sih, disuruh nginep di rumah gue kagak mau! B*go banget si lu!” Gadis yang lain menyaut. Disertai
tawa gadis yang lain. Perbincangan mereka berlanjut, tapi aku mengabaikannya,
sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku merasa tengah berada dalam dimensi yang
berbeda. Dimensiku bersekat budaya absurd.
***
“Aku takut dimarahi
Ibu…” Aku menunduk. Sekolah sudah sepi, hanya tinggal kami berlima. Aku, Sena,
Ai, Zey dan Ale.
“Aku juga…” Ai pun
angkat bicara.
“Ya sudah, kita ke
rumah Zey saja. Kalu ke rumah Ale itu terlalu jauh.” Sena member solusi. Dan
kami akirnya menyepakatinya. Menurutku persahabatan selalu terasa sangat Indah.
Tanpa umpatan, tanpa pengkhianatan, dan tanpa menjatuhkan kawan baik itu lewat
lisan ataupun perbuatan. Aku bahagia berada di tengah mereka.
Tahun ke-2 aku duduk di
bangku SMP. Berkawan akrab dengan empat anak tadi. Kami berencana menggarap PR
bersama di rumah Ale, tapi sayang sekali rumahnya terlalu jauh. Dan untukku,
aku tak mungkin berani main jauh-jauh, meskipun untuk pergi belajar Ibuku
selalu mengizinkan selama itu tak lewat dari pukul 17.00, selama aku tidak
berbohong, dan selama aku tidak nakal. Tapi aku selalu takut untuk pergi
terlalu jauh dari rumah. Aku mengkhawatirkan Ibuku yang mencemaskanku. Itu
saja.
*
Aku
berada dalam dimensi yang berbeda. Tanpa sapa keramah tamahan, tanpa keceriaan
layaknya anak sekolahan. Keceriaan mereka kini dengan syarat. Bukan natural
layaknya dalam dimensiku.
Kepribadian
mereka melesat jauh melebihi batas merah. Jiwa mereka menari bukan dalam
siraman cahaya rembulan, melainkan dalam lampu-lampu kelam yang membuat jiwa
kering kerontang.
Bukan
ini yang kutemui dalam dimensiku. Gadis berbalut seragam SMP bergaya ala nyonya
sosialita. Dengan kaos kaki selutut, rok yang melekat di bawah dada, aksesoris
yang bermerek dangan KW sekian, wajah penuh polesan kosmetik –bibir merah
merekah, alis mata hitam pekat, bulu mata yang menjulang—entahlah, ini apa
maksudnya.
Aku
tak melihat jiwa pelajar dalam diri gadis-gadis SMP yang kujumpai setiap
harinya. Aku merinding melihatnya. Bahkan tembok usang yang mereka lewatipun
kerap mencibir. Nona, jika kau tahu,
martabatmu itu ada pada penampilanmu.
Aku
berada dalam dimensi yang berbeda. Sang guru hanya mengejar target tingkat
intelegensi anak, hanya segelintir yang mengejar laku mulia, lisan bijaksana,
dan hati nirmala.
*
Setetes
air dari langit, jatuh di permukaan danau yang terhampar tepat di depan mataku.
Diikuti tetes-tetes yang lain, seakan berlomba untuk sampai terlebih dulu.
Cokelat panas di hadapanku mengepul, menawarkan aroma yang menggigit. Sederet
berita bermimik menggemaskan dalam kemasan media cetak yang rapih meminta untuk
segera dibaca. Mataku tertuju pada berita utama yang judulnya sangat mencolok. Gagal Gugurkan Kandungan, Siswi SMP Bunuh
Diri.
Aku
memejamkan mata setelah membaca suguhan berita pagi ini. Kelak sepasang mata yang mengawas kalimat inipun menjadi
mahdi untuk generasi bangsa ini. Bisakah pemilik sepasang mata mampu membuat dimensiku nanti menjadi
dimensiku dulu? Menjadikan generasi insan cendikia, luhur akal, budi dan
pekerti? Ini PR untuk si pemilik sepasang mata.
Sekali
lagi, aku merindukan tawa koloni batu kali yang sering kulewati, merindukan
pagi di bukit bercemara.
---
(Dimensi—B.M)
Ciputat, 08
Desember 2014
09:18 am.
--
Alhamdulillah juara 2 :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar