Selamat datang kawan kassai... Jangan lupa tetap utamakan kode etik berinternet ~_^ V -- Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak lewat komentar ;) juga jadi member :D

Kamis, 11 Desember 2014

Dimensi


Bahiyatul Musfaidah

Bunyi klakson memekakkan telinga, setiap hari, setiap detik. Tanpa ku tahu pasti setiap kali klakson mereka bunyikan, ada gulungan-gulungan metafisis, berwarna hitam pekat keluar dari pori mereka. Terkadang dikolaborasi percikan-percikan bara merah dari mulut mereka. Aku ngeri melihatnya.
Kegaduhan ini menang jauh dari senandung embun pagi yang kutinggalkan beberapa tahun silam, di salah satu dataran tinggi Pulau Jawa. Ya, aku sudah melewat waktu dan jarak teramat jauh, untuk sekedar menenggak yang kata orang namanya ilmu. Ini menang jauh dari duniaku di ujung bukit sana. Sekedar untuk duduk di bangku kelas yang jauh dari kata nyaman pun harus rela naik turun tebing berkali-kali, melewat pematang sawah becek penuh lumpur. Tapi entah kenapa kondisi seperti itu justru terasa lebih bersahabat. Bukan terjebak dalam kemacetan berkepanjangan, bermandikan keringat dan asap polusi. Seakan kondisi ini malas untuk sekedar menyapa ramah. Dan untuk masalah ini, di sini kalah jauh dari tanah yang kutinggalkan itu.
Aku memacu langkahku menyusur koridor lokal dari gedung yang menjulang dengan warna yang sangat mencolok. Dinding-dindingnya berdiri angkuh, memandang sinis diriku. Aku balik menantangnya, kau tak tahu bahwa sekarang aku yang menguasaimu?! Dinding itu menciut.
Langkahku semakin cepat menurun tangga. Sepatuku beradu dengan lantai putih yang mengkilap, menciptakan ketukan melodi semakin cepat dan smakin cepat. Lagi-lagi memotong lalu-lalang, menerobos bunyi klakson dan umpatan-umpatan menjengkelkan. Lagi-lagi beradu dengan gulungan jiwa hitam. Sebenarnya ini membuatku jemu.
“Semalem gue pulang jam 1 coba, dan gue ketauan!” Satu dari beberapa gadis berseragam SMP di depanku berceloteh.
Elu sih, disuruh nginep di rumah gue kagak mau! B*go banget si lu!” Gadis yang lain menyaut. Disertai tawa gadis yang lain. Perbincangan mereka berlanjut, tapi aku mengabaikannya, sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku merasa tengah berada dalam dimensi yang berbeda. Dimensiku bersekat budaya absurd.

***
“Aku takut dimarahi Ibu…” Aku menunduk. Sekolah sudah sepi, hanya tinggal kami berlima. Aku, Sena, Ai, Zey dan Ale.
“Aku juga…” Ai pun angkat bicara.
“Ya sudah, kita ke rumah Zey saja. Kalu ke rumah Ale itu terlalu jauh.” Sena member solusi. Dan kami akirnya menyepakatinya. Menurutku persahabatan selalu terasa sangat Indah. Tanpa umpatan, tanpa pengkhianatan, dan tanpa menjatuhkan kawan baik itu lewat lisan ataupun perbuatan. Aku bahagia berada di tengah mereka.
Tahun ke-2 aku duduk di bangku SMP. Berkawan akrab dengan empat anak tadi. Kami berencana menggarap PR bersama di rumah Ale, tapi sayang sekali rumahnya terlalu jauh. Dan untukku, aku tak mungkin berani main jauh-jauh, meskipun untuk pergi belajar Ibuku selalu mengizinkan selama itu tak lewat dari pukul 17.00, selama aku tidak berbohong, dan selama aku tidak nakal. Tapi aku selalu takut untuk pergi terlalu jauh dari rumah. Aku mengkhawatirkan Ibuku yang mencemaskanku. Itu saja.
*
Aku berada dalam dimensi yang berbeda. Tanpa sapa keramah tamahan, tanpa keceriaan layaknya anak sekolahan. Keceriaan mereka kini dengan syarat. Bukan natural layaknya dalam dimensiku.
Kepribadian mereka melesat jauh melebihi batas merah. Jiwa mereka menari bukan dalam siraman cahaya rembulan, melainkan dalam lampu-lampu kelam yang membuat jiwa kering kerontang.
Bukan ini yang kutemui dalam dimensiku. Gadis berbalut seragam SMP bergaya ala nyonya sosialita. Dengan kaos kaki selutut, rok yang melekat di bawah dada, aksesoris yang bermerek dangan KW sekian, wajah penuh polesan kosmetik –bibir merah merekah, alis mata hitam pekat, bulu mata yang menjulang—entahlah, ini apa maksudnya.
Aku tak melihat jiwa pelajar dalam diri gadis-gadis SMP yang kujumpai setiap harinya. Aku merinding melihatnya. Bahkan tembok usang yang mereka lewatipun kerap mencibir. Nona, jika kau tahu, martabatmu itu ada pada penampilanmu.
Aku berada dalam dimensi yang berbeda. Sang guru hanya mengejar target tingkat intelegensi anak, hanya segelintir yang mengejar laku mulia, lisan bijaksana, dan hati nirmala.
*
Setetes air dari langit, jatuh di permukaan danau yang terhampar tepat di depan mataku. Diikuti tetes-tetes yang lain, seakan berlomba untuk sampai terlebih dulu. Cokelat panas di hadapanku mengepul, menawarkan aroma yang menggigit. Sederet berita bermimik menggemaskan dalam kemasan media cetak yang rapih meminta untuk segera dibaca. Mataku tertuju pada berita utama yang judulnya sangat mencolok. Gagal Gugurkan Kandungan, Siswi SMP Bunuh Diri.
Aku memejamkan mata setelah membaca suguhan berita pagi ini. Kelak sepasang mata yang mengawas kalimat inipun menjadi mahdi untuk generasi bangsa ini. Bisakah pemilik sepasang mata mampu membuat dimensiku nanti menjadi dimensiku dulu? Menjadikan generasi insan cendikia, luhur akal, budi dan pekerti? Ini PR untuk si pemilik sepasang mata.
Sekali lagi, aku merindukan tawa koloni batu kali yang sering kulewati, merindukan pagi di bukit bercemara.
---

(Dimensi—B.M)
Ciputat, 08 Desember 2014
09:18 am.

--
Alhamdulillah juara 2 :) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar