Selasa, 23 Desember 2014
Kamis, 11 Desember 2014
Dimensi
Bahiyatul
Musfaidah
Bunyi
klakson memekakkan telinga, setiap hari, setiap detik. Tanpa ku tahu pasti
setiap kali klakson mereka bunyikan, ada gulungan-gulungan metafisis, berwarna
hitam pekat keluar dari pori mereka. Terkadang dikolaborasi percikan-percikan
bara merah dari mulut mereka. Aku ngeri melihatnya.
Kegaduhan
ini menang jauh dari senandung embun pagi yang kutinggalkan beberapa tahun
silam, di salah satu dataran tinggi Pulau Jawa. Ya, aku sudah melewat waktu dan
jarak teramat jauh, untuk sekedar menenggak yang kata orang namanya ilmu. Ini
menang jauh dari duniaku di ujung bukit sana. Sekedar untuk duduk di bangku
kelas yang jauh dari kata nyaman pun harus rela naik turun tebing berkali-kali,
melewat pematang sawah becek penuh lumpur. Tapi entah kenapa kondisi seperti
itu justru terasa lebih bersahabat. Bukan terjebak dalam kemacetan
berkepanjangan, bermandikan keringat dan asap polusi. Seakan kondisi ini malas
untuk sekedar menyapa ramah. Dan untuk masalah ini, di sini kalah jauh dari
tanah yang kutinggalkan itu.
Aku
memacu langkahku menyusur koridor lokal dari gedung yang menjulang dengan warna
yang sangat mencolok. Dinding-dindingnya berdiri angkuh, memandang sinis
diriku. Aku balik menantangnya, kau tak tahu bahwa sekarang aku yang menguasaimu?!
Dinding itu menciut.
Langkahku
semakin cepat menurun tangga. Sepatuku beradu dengan lantai putih yang
mengkilap, menciptakan ketukan melodi semakin cepat dan smakin cepat. Lagi-lagi
memotong lalu-lalang, menerobos bunyi klakson dan umpatan-umpatan menjengkelkan.
Lagi-lagi beradu dengan gulungan jiwa hitam. Sebenarnya ini membuatku jemu.
“Semalem
gue pulang jam 1 coba, dan gue
ketauan!” Satu dari beberapa gadis berseragam SMP di depanku berceloteh.
“Elu sih, disuruh nginep di rumah gue kagak mau! B*go banget si lu!” Gadis yang lain menyaut. Disertai
tawa gadis yang lain. Perbincangan mereka berlanjut, tapi aku mengabaikannya,
sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku merasa tengah berada dalam dimensi yang
berbeda. Dimensiku bersekat budaya absurd.
Langganan:
Postingan (Atom)