oleh : Va Fuschida
Tak ada sentuhan angin, tak ada kicau
burung, yang ada hanya awan hitam menggelayut manja di langit bumi. Pagi yang
ganjil. Alev rapi dengan seragam biru-putihnya bergegas membenahi tas
punggungnya bersiap menuju sekolah.
Langkah kakinya terhenti tepat di depan
pintu kamar Bapakya. Suara serak batuk sang Bapak terdengar mencubit hati.
Pintu kamar yang sedikit terbuka cukup untuk ia melihat betapa pucatnya bibir
sang Bapak yang terbaring lemah. Untuk beberapa detik, Alev masih berdiri di
depan pintu. Alev masuk perlahan, Ibu yang tengah membuka bungkusan tablet,
menoleh dan tersenyum tulus.
“Ibu, Alev berangkat dulu…” Alev
mengulurkan tangannya.
“Sudah sarapan?” Pertanyaan rutin yang
selalu ibu lontarkan saat Alev hendak berangkat.
“Ndak lapar, Bu…” Jawaban monoton yang
ia berikan setiap harinya.
“Hemph… Bergegaslah…”
“Pak, Alev berangkat.” Ia menjabat
tangan Bapak lantas menciumnya hal yang sama ia lakukan dengan ibunya.
Tangan sang Bapak lemah. Alev bisa
merasakan betapa Bapaknya sangat terbebeni oleh penderitaan fisiknya itu.
######
“Plak!” Tangan lebar Bapak mendarat
keras di pipi kanan Alev. Rahangnya nyeri seketika, kaku dan terasa mau copot.
“Cepat ulurkan tanganmu!” Ini kali
pertama bapak berkata sekasar itu pada Alev.
Untuk yang kesekian kalinya Alev
menggeleng. Deru nafasnya terdengar ngos-ngosan. Keringatnya bercucuran.
Matanya merah seperti hendak menangis juga seperti menahan amarah.
Di sebelahnya, Iwan, sudah mengulurkan
tangannya.
“Ayo cepat salaman!” Bapak memukul
gagang sapu ke pantat Alev. Alev tetap tak berkutik, tetap pada keteguhan
hatinya. Tidak mau bermaafan dengan Iwan.
“Alev! Kenapa sampai begini?! Bapak
nyuruh kamu ngaji dan sekolah percuma kalau maafan saja tidak sudi! Bapak
kecewa! Memangnya kenapa sampai kamu berkeras hati begini?! Sampai berantem
tidak jelas begini?!” Suara Bapak masih ketus.
“Iwan duluan yang nendang aku, Pak….”
Telunjuknya mengarah ke wajah Iwan.
“Apa iya, Wan? Jawab jujur saja. Disini
Bapak tidak membela siapa-siapa.” Ucap Bapak bijak.
“Iya. Soalnya Alev ngumpetin sandal
Iwan….” Iwan membela diri.
“Bener kamu ngumpetin sandal Iwan?”
Bapak masih terus menginterogasi mereka berdua.
“Soalnya dia ngejek terus!” Suara Alev
meninggi. Otot di lehernya sampai mengencang.
“Ngejek apa?” Bapak masih belum lelah
meluruskan kasus dua bocah nakal itu.
“Motor ceper…..” Tangis Alev pecah.
“Cengeng! Hanya karena itu? Sekedar
motor-motoran kan? Cuma mainan kan? Bapak tidak pernah ngajar kamu jadi anak
cengeng, Lev…..”
“Tapi Alev sakit hati,….! Coba kamu yang
aku ejek begitu! Sakit kan?!” Tangan Alev menunjuk Iwan. Air matanya berleleran
bercampur dengan ingus.
“Engga!” Iwan menambah volume suaranya.
“Sudah, sudah! Sekarang salaman!” Iwan
mengulurkan tangannya lagi setelah sebelumnya sempat diturunkan.
“Alev! Kamu tidak mau salaman? Bapak
guyur pake air lho! Cepat!” Bapak mengancam. Namun Alev tetap diam.
Bapak segera beranjak dan kembali dengan
sebaskom air bak. Bapak tak pernah main-main dalam kata-kata.
“Ayo maafan! Bapak tidak mau kamu tumbuh
jadi anak kurang ajar tak tau diri! Sesusah apa sih mengulurkan tangan?!” Bapak
terus saja menggentak. Bapak benar-benar serius. Baskom berisi air diarahkan
diatas kepala Alev.
“Salaman atau Bapak guyur!”
Jawabannya tubuh Alev basah karena
kucuran air bak diatas kepalanya sebab ia diam.
“Bapak sangat kecewa, Lev!” Bapak
menarik tangan Alev kasar. Pulang.
#########
Semua memang tak ada yang beda, namun
perasaan Alev saja yang merasa beda. Ada desiran aneh di tubuhnya. Entah
pertanda apa. Semua yang telah diucapkan Pak Bas di depan kelas tak ada yang
hinggap di kepalanya. Hanya seperti hembusan angin belaka.
Tubuh Alev bergetar seketika. Perutnya mulas.
Pak Bas terus saja berceloteh di depan kelas. Pandangan mata Alev kabur. Dan
gelap seketika.
Alev tersadar saat sayup-sayup suara Budenya bercakap entah dengan siapa. Dia
kobeng, dia telah terbaring
dikamarnya. Hal terakhir yang dia ingat adalah Pak Bas yang berdiri di depan
kelas dengan kata-katanya yang entah apa.
“Kamu sudah sadar, Lev….” Budenya datang dengan segelas teh manis.
“Kenapa aku ndak di sekolah Bude….” Alev
masih bingung.
“Tadi Pak Bas dan Zen yang nganter kamu.
Kamu pingsan di sekolah. Makannya kalau sakit jangan dipaksakan masuk sekolah…”
“Ibu mana Bude….?” Alev heran, kenapa
dari tadi ibu tidak ada di situ. Padahal biasanya Ibu selalu menungguinya saat
sakit.
“Bapak kamu masuk Rumah Sakit, Lev. Ibu
harus menungguinya. Mas Adif juga disana.”
Seperti ada guruh di hatinya. Bibir Alev
yang sudah pucat menjadi semakin pucat.
“Bapak…” Gumamnya lirih…
“Bapak ndak apa-apa kok, Lev… Cuma
sedikit pusing” Bude menghibur.
#########
“Kenapa Bapak tega mengguyur Alev, Pak….
Bapak tau sendiri kan, Alev mudah sakit. Tubuhnya rentan.” Sayup-sayup suara
Ibu terdengar oleh sepasang telinga Alev di balik pintu kamarnya. Dia masih
menangis sesegukan. Masih merasa sakit hati atas kejadian tadi.
“Kapan dia mau bersikap dewasa kalau
kita terus memanja dia… Kita harus didik dia dengan baik, biar dia tau mana
yang benar dan mana yang salah.” Bapak menjawab enteng.
“Tapi apa itu tidak berlebihan, Pak…?”
“Tentu saja tidak. Mendidik anak kok
setengah-setengah…” Bapak masuk ke kamar.
Alev menyeka air matanya. Meskipun masih
sesegukan. Sampai ia tertidur.
Esoknya suasana
kembali mengendur . Hanya saja Alev
masih berdiam diri.
“Lev, kamu
mau bapak belikan sepatu, sepatumu kan sudah rusak…” Bapak mengawali.
Alev
mendongak, memperhatikan Bapak. Terkejut dan bahagia.
“Benarkah,
Pak? Alev senang sekali.” Alev berdiri dan memeluk Bapak. Sesekali melihat
kearah sepatunya yang usang dan robek di ujungnya. Selama 4 tahun Alev duduk di
bangku Sekolah Dasar, Baru dua kali ia kenakan sepatu “baru”. Baru bagi Alev
adalah belum pernah dipakainya. Meskipun itu adalah lungsuran dari kakaknya, Mas Adif.
“Yang penting
kamu jangan bersikap seperti semalam lagi…”
“Iya, Pak.
Alev janji, Alev akan berbaikan dengan Iwan.”
“Baguslah
kalau begitu. Bapak tidak ingin jagoan Bapak jadi anak kurang ajar yang tidak
tau diri. Nanti pulang sekolah kita ke pasar kota.”
“Terima
kasih, Pak… Alev senang sekali.”
##########
“Bude, Aku mau jenguk Bapak…”
Alev merengek.
“Tubuh kamu sakit, Alev. Besok
juga Bapak mungkin sudah pulang.” Budenya tersenyum.
Hening
sejenak. Alev diam. Ada rasa sesal dihatinya. Kenapa ia mesti sakit! Alev ingin
menunggui Bapak. Seperti Bapak yang selalu menunggui Alev saat Alev sakit.
Meskipun selalu memarahi Alev saat Alev nakal, tapi Bapak selalu sayang Alev.
Pernah, Bapak
rela jual motornya gara-gara tak ada uang saat Alev memaksa minta disunat. Alev
tak pernah tau penderitaan yang Bapak Alami. Dalam keadaan sakit pun, Bapak
tetap bisa tersenyum. Pandai sekali Bapak berbohong. Menyembunyikan penderitaan
lewat senyum tulusnya.
Tiba-tiba
Alev menangis, Mengingat kembali “kejahatan-kejahatan”nya terhadap Bapak. Alev
yang tak pernah tau apa yang Bapak alami. Alev yang tak pernah bisa menjadi
jagoan Bapak. Alev yang selalu mengecewakan Bapak.
“Alev, kenapa
kamu nangis?” Budenya kaget, langsung memberinya minum.
“Aku pengin
tungguin Bapak, Bude….” Masih menangis sesegukan.
Bude memeluk
Alev… Bude tau apa yang sebenarnya terjadi dengan bapaknya. Tau persis!
#########
“Prang!”
Itu suara
gelas dari kamar Bapak. Semua yang mendengar suara itu segera menuju ke tempat
sumber suara. Tubuh Bapak mengejang, matanya melotot. Ibu langsung menangis
melihat keadaan tersebut. Segera saja bapak diangkat menuju mobil Pak Lurah
yang sudah terparkir di halaman depan.
Banyak
wajah-wajah bingung disekitar rumah, itu adalah wajah para tetangga yang tidak
tahu menahu apa yang tengah terjadi. Ibu menangis, Bude menenangkan. Pakde ikut
membopong tubuh Bapak yang semakin mengejang.
Sudah cukup
lama Bapak sakit, baik Alef maupun Adif tak pernah ada yang tau apa yang diderita
Bapak. Bapak tak pernah terlihat lemah di depan mereka. Bapak sangat pandai
menyembunyikan sesuatu dari mereka. Sampai sakit pun, Bapak masih
menyembunyikannya.
Siang tadi,
obat yang di minum Bapak tak mampu redakan ngilu di hati dan pening di kepalanya.
Bapak tak kuat menahan rasa sakit itu. Satelah seperempat jam Ibu memberikan
obat lantas pergi untuk menjemur pakaian, Bapak membuka sendiri bungkusan
tablet yang ada di meja sebelah ranjang. Bapak minum sekali lagi untuk dosis
satu waktu. Namun Bapak tak kunjung merasakan lebih baik. Justru Ia merasa
hatinya diremas-remas, kepalanya seperti dipukul beribu durian. Tubuhnya
tiba-tiba menggigil, bayangan di depannya kabur. Bapak ingin sekali berteriak,
namun tenggorokannya tercekat. Seperti ada yang mencekik. Tangan Bapak meraba
meja, sengaja Ia sentuh gelas dan menjatuhkannya untuk isyarat memanggil siapa
saja yang ada di rumah itu.
Ibu tersentak
melihat kondisi Bapak, secara spontan Ibu berteriak memanggil Bude dan Pakde.
Semuanya kalut, begitu juga para tetangga yang berbondong-bondong merespon
teriakan Ibu.
Pak Lurah
yang rumahnya tepat di depan rumah Alev, langsung menawarkan mobilnya untuk
membawa bapak ke Rumah Sakit.
#########
Uiuiuiuiuiuiiuiuiuiuiuiiuiiuiuiuiiuiuiuiiuiui…
Suara
ambulance mendekat ke rumah Alev. Alev terkejut, Ia segera bangun dari
ranjangnya.
Terdengar
suara tangisan. Itu suara Ibu! Ada rasa tak nyaman di hatinya. Sinyal itu
semakin kuat, Alev tau ini. Alev Paham!
Segera Ia
berlari ke depan. Seorang tertutup kain jarit
diturunkan dari Ambulance. Alev Paham! Spontan Ia berlari memeluk tubuh kaku
itu. Bapak sudah pucat. Bapak sudah tak berdaya. Bapak telah pergi…
Aliran air
berhulu di sudut matanya semakin deras. Alev menangis.
#########
Aroma khas
tanah pemakaman semakin menderaskan air mata yang dikeluarkan Alev. Gundukan
tanah merah di hadapannya telah tertutup warna-warni bunga. Alev masih
bersimpuh disisi makam Bapak. Para pelayat satu per satu telah pergi. Kini
hanya Alev bersama Ibu dan Mas Adif. Mereka berdua berdiri di belakang Alev yang
semakin larut bersama kenangan masa lalu tentang Bapak. Bapak yang selalu ada
untuknya. Bapak yang selalu tampak kuat di hadapannya. Bapak yang selalu
memberinya nasihat. Bapak yang selalu membuat dia tersenyum.
Kebaikan
Bapak, kemarahan Bapak, keceriaan Bapak, kejengkelan Bapak, silih berganti
mengisi bayangan di benaknya. Alev bisa membayangkan Bapak yang tertimbun tanah
sendirian di dalam sana. Tangis Alev semakin menjadi namun tak ada suara
diantara tangisnya.
Gerimis turun
ke bumi. Langit turut menangis atas kepergian Bapak. Membasahi makam Bapak.
Membasahi tubuh Alev. Membasuh hati
Alev dari ketidak ikhlasan.
Jum’at sore
yang tak pernah terlupakan.
%%%%%%*******%%%%%%
^_^