Oleh : Bahiyatul Musfaidah
Persoalan
Kurikulum 2013 atau tak asing disebut K-13 masih menjadi momok bagi sebagian
kalangan, meskipun ini sudah di tahun ke-2 pelaksanaan kurikulum tersebut. Apa pasal sehingga pelaksanaan
K-13 dianggap sebagai hal yang perlu penyesuaian cukup elusif?
Masalahnya
adalah, banyak tenaga pengajar yang belum tahu betul apa itu K-13, apa
perbedaan dengan kurikulum sebelumnya, dan bagaimana aturan serta kaidahnya
dalam pembelajaran.
Kalaupun mungkin yang sudah tahu sedikit perbedaannya,
aturan tersebut hanya dianggap sebagai formalitas belaka. Paradigma yang mereka
lakukan tetap menggunakan paradigma lama. Yaitu, guru sebagai sumber utama
belajar. Gurulah yang paling tahu segala-galanya. Padahal untuk K-13 ini peran utama
guru adalah sebagai fasilitator dan pengelola sumber belajar di kelas. Anak-anak
lebih dituntut untuk aktif mengembangkan potensi dan imajinasinya dengan
bertanya dan menganalisa. Dengan demikian Sumber Daya Pengajar yang memang
harus di optimalkan. Mereka sebagai ujung tombak agen perubahan bangsa ini
harus lebih bisa bernalar kritis menghadapi K-13 ini, bagaimana harus
melaksanakan K-13 secara efektif, bagaimana menciptakan kelas menjadi hidup
dengan siswa yang aktif lewat pembelajaran yang komunikatif.
K-13
sepertinya belum sesuai dengan kondisi tenaga pengajar saat ini yang kebanyakan
masih “abal-abal”, statusnya guru namun dalam evaluasinya lebih dibawah garis
normal seorang guru, bahkan tak jarang ada yang lebih buruk dari peserta
didiknya. Ini perlu pelatihan yang sungguh-sungguh. Mungkin penerapan K-13
seharusnya didahului dengan pemberdayaan tenaga pengajar yang berkualitas, baru diterapkan K-13. Agar terjadi korelasi yang dinamis
antara kurikulum, pendidik dan peserta didik. Karena mutu kualitas guru dalam
K-13 ini sangat diperhitungkan. Pengajar harus benar-benar mempunyai kriteria mutu
seorang guru yang sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan. Yaitu mereka yang
mempunyai kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan professional. Sayangnya
banyak guru yang tidak mempunyai keempat kompetensi ini. Itulah yang kini jadi
tantangan pendidikan di Indonesia menghadapi Kurikulum 2013. Kapan harus
dibenahi? Sambil berjalan, sejalan dengan perberlakuan K-13 di negeri ini. Pelatihan
terhadap guru harus sesering mungkin dilakukan. Bahkan, KOMPAS.com menginformasikan
hal yang sangat mengejutkan.
“Guru yang tidak layak ini sebagian
besar justru guru di tingkat taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD). Di
TK, berdasarkan data pendidikan nasional Depdiknas 2007/2008, sekitar 88 persen
tak layak serta di tingkat SD sekitar 77,85 persen yang tak layak jadi guru.
Di tingkat sekolah menengah pertama (SMP) sekitar 28,33 persen guru yang tak layak mengajar, di sekolah menengah atas (SMA) sekitar 15,25 persen, serta di sekolah menengah kejuruan (SMK) sekitar 23,04 persen.
Di tingkat sekolah menengah pertama (SMP) sekitar 28,33 persen guru yang tak layak mengajar, di sekolah menengah atas (SMA) sekitar 15,25 persen, serta di sekolah menengah kejuruan (SMK) sekitar 23,04 persen.
Ketidaklayakan guru itu
sebagian besar karena tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimum D-IV atau
strata 1 yang kini dipersyarakatkan pemerintah. Guru yang mengajar di TK dan
SMP umumnya berpendidikan SMA hingga diploma.”
Meskipun
data tersebut data 6 tahun silam, tak dapat ditepis juga, angka tak layak seorang
guru masih tak sedikit juga sampai tahun ini, tapi setidaknya berkurang dari
tahun ke tahun. Itulah mengapa K-13 harus benar-benar tepat sasaran, maksudnya
tepat sasaran disini adalah, K-13 dilaksanakan bukan dipukul sama rata,
melainkan dilakukan secara bertahap. Mereka yang pantas menerapkan K-13 lebih
awal adalah mereka (sekolah) yang memiliki guru yang benar-benar professional dan
berkompetensi. Karena pada kenyataanya penerapan tidak sedikit dilakukan di
sekolah-sekolah yang seharusnya tenaga pengajarnya melakukan “uji
kompetensi” terlebih dahulu. Sayang sekali bukan, jika memiliki siswa yang
berkompetensi namun sang pendidik justru berkebalikan?

Tidak ada komentar:
Posting Komentar