Aku terdiam,
sesekali memandang jalanan yang lengang. Marry
You nya Bruno Mars mengalun mengisi keheningan diantara kita. Aku tau dia
mencuri-curi pandang ke arahku lewat kaca spion, aku semakin gugup. Tapi
entahlah, aku semakin penasaran dengan orang ini.
Wajahnya teduh,
tutur katanya sopan, tingkah lakunya santun. Ah, aku terlalu memujinya. Pemuda
yang tampan.
***
Ini Selasa. Aku
mendengus sebal. Berkali-kali melirik jam di tanganku berharap jarumnya
bergerak dengan kecepatan setengah dari normal. Ini sudah larut malam untuk
waktu mengajar. Please dewa penolong, hadirlah. Sopir angkot, atau apalah yang
bersedia ku tumpangi kendaraannya agar aku segera tunaikan kewajiban
mengajarku.
Pffffh, jarum
jam semakin mendekati waktu kritis. Tak ada pilihan lain, aku terpaksa
menghentikan taksi yang saat itu juga melaju dihadapanku. Apa boleh buat,
sebenarnya aku selalu khawatir kalau sudah duduk di jok mobil sedan sejenis
ini, argonya itu lho yang bikin mata sesekali melirik dompet. Maklum, mahasiswa
hemat.
Taksi putih
berhenti tepat di hadapanku. Aku membuka pintu belakang. Segera duduk manis.
“Assalamu’alaikum,
hendak diantar kemana?” Sang sopir menyapaku.
“’Alaikumussalam…
Mmm, ke perempatan lampu merah depan aja ya…” Aku menjawab.
“Baik…” Sang
sopir melajukan mobilnya.
Kami saling
terdiam, music yang diputarnya membuat aku semakin nyaman.
“Kalau boleh
tau, Ibu dari mana dan mau kemana?” Si sopir mencoba memecah keheningan.
Mungkin dia ingin membuat penumpangnya kerasan.
“Saya dari ngajar
dan mau ngajar lagi Mas….” Aku menatap punggungnya.
“Kok tidak
dijemput suami Bu?”
“belum ada
suami, Mas.”
“Oo, ya orang
special mungkin, calon suami atau pacar…”
“Ah, engga mas,
itu nanti saja kalau sudah lulus…”
“Iya, ya, ya….”
Dia tersenyum ramah.
Aku memainkan
ponsel, antara aku dan sang sopir kembali terdiam. Dia terlihat tenang. Dan,
ehm! Tampan. Aku mulai ngaco, sejak kapan aku memperhatikannya? Tapi memang
jujur saja, dia masih muda, jumper coklat gelap yang membalut tubuhnya
membuatnya terlihat casual tidak berlebihan.
Sampai akhirnya
aku sadar, aku tidak mengarahkannya ke jalan yang aku tuju. Aku terlalu
memperhatikannya. Sial!
“Maaf, ini puter
baliknya udah kelewat ya?” Aku bertanya.
“Iya, udah
terlewat…”
“Aduh, maaf ya,
seharsnya tadi puter balik. Ya udah gapapa, nanti lewat jalan yang lain aja.”
Aku mendadak lemas.
“Baik….” Sang
sopir kembali serius dengan kemudinya.
“Ngomong ngomong
nama kamu siapa?” Ashhh! Apa barusan? Dia bilang kamu ke aku? Dia Tanya nama?
Oh Good!
“Mmm, aku Aira.”
Akku menjawab gugup.
Dia tersenyum
melihatku lewat spion. “Kamu bisa panggil aku Val.”
Aku mengangguk
pelan. Val, nama yang tampan. Maksudku, seperti wajahnya.
“Masih kuliah
ya? Berapa tahun lagi lulus?”
“Iya, Ka.
Minimal 2 tahun lagi lulusnya…” Sejak kapan aku memanggilnya Ka? Bukannya tadi
Mas? Ada kesalahan!
“Masih lama…”
Dia Dia mengangguk-angguk tak jelas.
Perjalanan ini
semakin lama, karena harus melalui jalur yang tak semestinya. Tapi aku
menikmati.
“Mmm, kalau kamu
tersesat, atau butuh tumpangan, kamu telepon aku saja.” Dia berbaik hati, ah
tapi aku rasa ini triknya agar kita bertukar nomor telepon. Aku diam saja
menanggapinya, hanya tersenyum.
Selanjutnya kita
saling bertukar cerita. Dia yang ingin mencari pengalaman di dunia pekerjaannya
ini, yang tak mempunyai semangat hidup, yang tak ingin melanjutkan study meski
orang tuanya memaksa, yang ujungnya bahwa inilah jalan yang dipilihnya.
Aku terdiam,
mendengar ceritanya, entah apa yang aku pikirkan. Aku nyaman ngobrol dengannya.
Begitupun dia, dia sesekali tersenyum ke arahku. Entahlah, aku bergetar ketika
itu.
“Umur aku 4
tahun di atas kamu…. Dan 2 tahun itu waktu yang sangat lama….” Aku tak paham
maksud pekataannya. Ah, sudahlah, aku mengabaikannya.
Sampai akhirnya
mobil yang kutumpangi berhenti di depan tempat tujuan. Dia memandangku, bukan
lewat spion! Sekali lagi, bukan lewat spion! Tersenyum, dan memintaku
menuliskan nomor teleponnya. Aku menurut saja. Seperti terhipnotis.
Aku turun,
sebelum menutup pintu, dia menahanku,
“Nanti sms ya…
Kalau tersesat hubungi aku….” Lagi-lagi dia memberiku senyuman rupawannya. Aku
bergegas meninggalkannya.
Jujur saja, aku
tertarik dengannya. Pembawaannya yang membuatku nyaman. Sejak itu, aku
memikirkannya.
Hari berikutnya
aku masih memikirkannya. Aku tak berni menghubunginya. Menunggunya
menghubungiku itu tak mungkin. Karena aku tak memberinya nomor telepon. Tidak
menghubunginya membuatku merasa kurang nyaman. Dan jika menghubunginya, rasanya
aneh. Aku harus jaga image! Gengsi. Jangan-jangan akal sehatku sudah tak berfungsi,
buktinya aku putuskan untuk mengetik sms.
Bantu aku jika aku tersesat.
Gila bukan? Aku
nekat. Baru kali ini aku dibutakan. Sialnya, nomor yang aku hubungi tak
meresponku. Huft!
Sehari berlalu,
ponselku bordering. Oh Good! Nama lelaki itu terpampang nyata di layar
ponselku!
Intinya, kita
sama-sama tahu bahwa orang yang diajak bicara waktu ini, adalah orang yang
diajak bicara waktu itu. Sopir dan penumpang.
Semakin lama
semakin akrab. Tergelak dan diam. Itu aku. Dia? Berbicara tanpa henti, kemudian
berhenti lebih lama. Kenapa aku bisa tertarik dengan sopir taksi ini?
Jawabannya gampang, karena dia baik. Dan nyaman sebagai lawan bicara. Juga,
tampan.
Ini kali pertama
aku dekat sekali dengan lelaki selama aku disini, eh maksudnya setelah aku tak
terikat dengan lelaki, mungkin dua tahun lalu, sampai aku lupa rasanya
mencintai lelaki. Dan sekarang, dia mengingatkanku bagaimana mencintai lelaki.
Dekat sekali
menurutku mungkin beda dengan dekat sekali menurutmu. Bagiku, bertukar cerita,
ngobrol, sampai larut malam, sms dengan intensitas lebih sering dari biasanya, meski
tak bertatap muka, itu sudah dekat sekali menurutku. Karena aku tidak pernah
melakukan hal itu dengan yang lain. Entahlah, mungkin aku benar-benar tertarik
kepadanya. Meskipun aneh, pertama bertemu! Pertama bertatap muka. Pertama
mengenal.
Aku sedikit
lebih banyak tahu tentang dia. Dia lelaki yang baik, mandiri dan dari keluarga
baik-baik. Aku semakin tertarik. Tentang hatinya, aku tak tau pasti. Yang jelas
dia seringkali membuatku melambung oleh kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Yang aku
sayangkan adalah, kenapa aku harus lupa wajahnya! Ingatanku memang sangat buruk
tentang wajah-wajah orang yang baru kutemui. Itu artinya, bukan fisik yang aku
prioritaskan, melainkan sifat dan sikapnya.
Sampai akhirnya,
pertemuanlah yang membuatku kembali mengingat wajahnya. Minggu ini kita
bertemu, pergi berdua, bercerita dan bercanda. Dia mengemudi dan aku duduk
disampingnya. Seperti nyonya dan tuan yang hidup bahagia. Entahlah yang dikendarainya ini mobil siapa,
sepertinya bukan mobilnya sendiri, melainkan mobil orang tuanya, yang jelas
bukan sedan putih ber-argo. Dia sesekali
tersenyum kearahku, aku masih canggung untuk berkata banyak. Apalah rasanya,
yang jelas aku teramat senang. Dia meraih tanganku, semakin membuatku gugup.
Kurang ajar mungkin yang dia lakukan, tapi aku membiarkan tangan kirinya
menggenggam lebih erat tanganku. Aku merasa terlindungi.
Aku menghabiskan
sore ini dengannya, makan, nonton, berjalan bergandengan dengannya. Aku merasa seutuhnya
memilikinya. Mungkin aku pun kurang ajar, kita belum berstatus apa-apa tapi
berani bergandengan layaknya tuan-nyonya.
Esoknya, dia tak
menghubungiku, sepertinya ada masalah dengannya. Di telepon, tak ada jawaban,
pun d isms, tak ada balasan. Hanya sekali dia membalas.
Aku sedang pusing.
Itu saja, dan
aku mengkhawatirkannya. Berikutnya, dan berikutnya…. Dia tak ada kabar.
Selasa kedua,
aku melangkah gontai dari tempatku mengajar. Menyetop taksi dihadapanku,
berharap ketika ku membuka pintu lelaki yang kuharapkan menyambutku. Ternyata
bukan. Di jok belakang pengemudi, aku menitikkan embun hangat. Dia benar-benar
menghilang. Aku merindukannya. Apa yang sebenarnya terjadi…? Apa aku tak harus
mengetahuinya?
Aku benar-benar
telah menambatkan hatiku padanya, lelaki jumper coklat. Aku mencintainya. Aku
menyesal tak sempat mengatakan ini.
Ini selasa
ketiga, aku masih berada dalam lingkaran penantian. Menanti sosokmu yang
bersembunyi dibalik waktu.
Ini selasa
ketiga, aku masih berada dalam lingkaran pengharapan. Mengharap hadirmu dalam
sepi hatiku.
Ini selasa
ketiga, apa kau masih ingat itu?
***
Maafkanku karena sempat menghilang. Aku
hanya ingin sendiri sejenak. Aku tahu kamu rindu, sama sepertiku yang teramat
merindumu. Dan kini aku telah kembali, membuatmu menjadi nyonyaku, bukan untuk
sesaat, tapi untuk selamanya. Aku mau kau bersedia seutuhnya menjadi milikku,
menikah denganku dan mempunyai anak bersamaku. Aku mau kau bersedia kucium
setiap pagi dan setiap malam, dan tidak membaginya ke yang lain. Aku bersedia
menyekolahkanmu sampai kau bosan seperti yang pernah kau katakan, aku bersedia
mendampingimu. Aku janji. Aku mencintaimu.
Mataku
terbelalak, aku terbangun dari mimpi. Sekali lagi, aku tersedu dibuatnya.
Ciputat,
Selasa
/ 28 Oktober 2014
07:44
pm
Inspirasi datang di jok belakang taksi orange ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar