Selamat datang kawan kassai... Jangan lupa tetap utamakan kode etik berinternet ~_^ V -- Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak lewat komentar ;) juga jadi member :D

Selasa, 28 Oktober 2014

Tiga Selasa


Aku terdiam, sesekali memandang jalanan yang lengang. Marry You nya Bruno Mars mengalun mengisi keheningan diantara kita. Aku tau dia mencuri-curi pandang ke arahku lewat kaca spion, aku semakin gugup. Tapi entahlah, aku semakin penasaran dengan orang ini.
Wajahnya teduh, tutur katanya sopan, tingkah lakunya santun. Ah, aku terlalu memujinya. Pemuda yang tampan.
***


Ini Selasa. Aku mendengus sebal. Berkali-kali melirik jam di tanganku berharap jarumnya bergerak dengan kecepatan setengah dari normal. Ini sudah larut malam untuk waktu mengajar. Please dewa penolong, hadirlah. Sopir angkot, atau apalah yang bersedia ku tumpangi kendaraannya agar aku segera tunaikan kewajiban mengajarku.

Pffffh, jarum jam semakin mendekati waktu kritis. Tak ada pilihan lain, aku terpaksa menghentikan taksi yang saat itu juga melaju dihadapanku. Apa boleh buat, sebenarnya aku selalu khawatir kalau sudah duduk di jok mobil sedan sejenis ini, argonya itu lho yang bikin mata sesekali melirik dompet. Maklum, mahasiswa hemat.
Taksi putih berhenti tepat di hadapanku. Aku membuka pintu belakang. Segera duduk manis.

“Assalamu’alaikum, hendak diantar kemana?” Sang sopir menyapaku.
“’Alaikumussalam… Mmm, ke perempatan lampu merah depan aja ya…” Aku menjawab.
“Baik…” Sang sopir melajukan mobilnya.
Kami saling terdiam, music yang diputarnya membuat aku semakin nyaman.
“Kalau boleh tau, Ibu dari mana dan mau kemana?” Si sopir mencoba memecah keheningan. Mungkin dia ingin membuat penumpangnya kerasan.
“Saya dari ngajar dan mau ngajar lagi Mas….” Aku menatap punggungnya.
“Kok tidak dijemput suami Bu?”
“belum ada suami, Mas.”
“Oo, ya orang special mungkin, calon suami atau pacar…”
“Ah, engga mas, itu nanti saja kalau sudah lulus…”
“Iya, ya, ya….” Dia tersenyum ramah.

Aku memainkan ponsel, antara aku dan sang sopir kembali terdiam. Dia terlihat tenang. Dan, ehm! Tampan. Aku mulai ngaco, sejak kapan aku memperhatikannya? Tapi memang jujur saja, dia masih muda, jumper coklat gelap yang membalut tubuhnya membuatnya terlihat casual tidak berlebihan.
Sampai akhirnya aku sadar, aku tidak mengarahkannya ke jalan yang aku tuju. Aku terlalu memperhatikannya. Sial!

“Maaf, ini puter baliknya udah kelewat ya?” Aku bertanya.
“Iya, udah terlewat…”
“Aduh, maaf ya, seharsnya tadi puter balik. Ya udah gapapa, nanti lewat jalan yang lain aja.” Aku mendadak lemas.
“Baik….” Sang sopir kembali serius dengan kemudinya.
“Ngomong ngomong nama kamu siapa?” Ashhh! Apa barusan? Dia bilang kamu ke aku? Dia Tanya nama? Oh Good!
“Mmm, aku Aira.” Akku menjawab gugup.
Dia tersenyum melihatku lewat spion. “Kamu bisa panggil aku Val.”
Aku mengangguk pelan. Val, nama yang tampan. Maksudku, seperti wajahnya.
“Masih kuliah ya? Berapa tahun lagi lulus?”
“Iya, Ka. Minimal 2 tahun lagi lulusnya…” Sejak kapan aku memanggilnya Ka? Bukannya tadi Mas? Ada kesalahan!
“Masih lama…” Dia Dia mengangguk-angguk tak jelas.

Perjalanan ini semakin lama, karena harus melalui jalur yang tak semestinya. Tapi aku menikmati.
“Mmm, kalau kamu tersesat, atau butuh tumpangan, kamu telepon aku saja.” Dia berbaik hati, ah tapi aku rasa ini triknya agar kita bertukar nomor telepon. Aku diam saja menanggapinya, hanya tersenyum.

Selanjutnya kita saling bertukar cerita. Dia yang ingin mencari pengalaman di dunia pekerjaannya ini, yang tak mempunyai semangat hidup, yang tak ingin melanjutkan study meski orang tuanya memaksa, yang ujungnya bahwa inilah jalan yang dipilihnya.
Aku terdiam, mendengar ceritanya, entah apa yang aku pikirkan. Aku nyaman ngobrol dengannya. Begitupun dia, dia sesekali tersenyum ke arahku. Entahlah, aku bergetar ketika itu.

“Umur aku 4 tahun di atas kamu…. Dan 2 tahun itu waktu yang sangat lama….” Aku tak paham maksud pekataannya. Ah, sudahlah, aku mengabaikannya.
Sampai akhirnya mobil yang kutumpangi berhenti di depan tempat tujuan. Dia memandangku, bukan lewat spion! Sekali lagi, bukan lewat spion! Tersenyum, dan memintaku menuliskan nomor teleponnya. Aku menurut saja. Seperti terhipnotis.
Aku turun, sebelum menutup pintu, dia menahanku,

“Nanti sms ya… Kalau tersesat hubungi aku….” Lagi-lagi dia memberiku senyuman rupawannya. Aku bergegas meninggalkannya.
Jujur saja, aku tertarik dengannya. Pembawaannya yang membuatku nyaman. Sejak itu, aku memikirkannya.

Hari berikutnya aku masih memikirkannya. Aku tak berni menghubunginya. Menunggunya menghubungiku itu tak mungkin. Karena aku tak memberinya nomor telepon. Tidak menghubunginya membuatku merasa kurang nyaman. Dan jika menghubunginya, rasanya aneh. Aku harus jaga image! Gengsi. Jangan-jangan akal sehatku sudah tak berfungsi, buktinya aku putuskan untuk mengetik sms.

Bantu aku jika aku tersesat.

Gila bukan? Aku nekat. Baru kali ini aku dibutakan. Sialnya, nomor yang aku hubungi tak meresponku. Huft!
Sehari berlalu, ponselku bordering. Oh Good! Nama lelaki itu terpampang nyata di layar ponselku!
Intinya, kita sama-sama tahu bahwa orang yang diajak bicara waktu ini, adalah orang yang diajak bicara waktu itu. Sopir dan penumpang.

Semakin lama semakin akrab. Tergelak dan diam. Itu aku. Dia? Berbicara tanpa henti, kemudian berhenti lebih lama. Kenapa aku bisa tertarik dengan sopir taksi ini? Jawabannya gampang, karena dia baik. Dan nyaman sebagai lawan bicara. Juga, tampan.
Ini kali pertama aku dekat sekali dengan lelaki selama aku disini, eh maksudnya setelah aku tak terikat dengan lelaki, mungkin dua tahun lalu, sampai aku lupa rasanya mencintai lelaki. Dan sekarang, dia mengingatkanku bagaimana mencintai lelaki.

Dekat sekali menurutku mungkin beda dengan dekat sekali menurutmu. Bagiku, bertukar cerita, ngobrol, sampai larut malam, sms dengan intensitas lebih sering dari biasanya, meski tak bertatap muka, itu sudah dekat sekali menurutku. Karena aku tidak pernah melakukan hal itu dengan yang lain. Entahlah, mungkin aku benar-benar tertarik kepadanya. Meskipun aneh, pertama bertemu! Pertama bertatap muka. Pertama mengenal.

Aku sedikit lebih banyak tahu tentang dia. Dia lelaki yang baik, mandiri dan dari keluarga baik-baik. Aku semakin tertarik. Tentang hatinya, aku tak tau pasti. Yang jelas dia seringkali membuatku melambung oleh kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Yang aku sayangkan adalah, kenapa aku harus lupa wajahnya! Ingatanku memang sangat buruk tentang wajah-wajah orang yang baru kutemui. Itu artinya, bukan fisik yang aku prioritaskan, melainkan sifat dan sikapnya.

Sampai akhirnya, pertemuanlah yang membuatku kembali mengingat wajahnya. Minggu ini kita bertemu, pergi berdua, bercerita dan bercanda. Dia mengemudi dan aku duduk disampingnya. Seperti nyonya dan tuan yang hidup bahagia.  Entahlah yang dikendarainya ini mobil siapa, sepertinya bukan mobilnya sendiri, melainkan mobil orang tuanya, yang jelas bukan sedan putih ber-argo.  Dia sesekali tersenyum kearahku, aku masih canggung untuk berkata banyak. Apalah rasanya, yang jelas aku teramat senang. Dia meraih tanganku, semakin membuatku gugup. Kurang ajar mungkin yang dia lakukan, tapi aku membiarkan tangan kirinya menggenggam lebih erat tanganku. Aku merasa terlindungi.

Aku menghabiskan sore ini dengannya, makan, nonton, berjalan bergandengan dengannya. Aku merasa seutuhnya memilikinya. Mungkin aku pun kurang ajar, kita belum berstatus apa-apa tapi berani bergandengan layaknya tuan-nyonya. 

Esoknya, dia tak menghubungiku, sepertinya ada masalah dengannya. Di telepon, tak ada jawaban, pun d isms, tak ada balasan. Hanya sekali dia membalas.

Aku sedang pusing.

Itu saja, dan aku mengkhawatirkannya. Berikutnya, dan berikutnya…. Dia tak ada kabar.

Selasa kedua, aku melangkah gontai dari tempatku mengajar. Menyetop taksi dihadapanku, berharap ketika ku membuka pintu lelaki yang kuharapkan menyambutku. Ternyata bukan. Di jok belakang pengemudi, aku menitikkan embun hangat. Dia benar-benar menghilang. Aku merindukannya. Apa yang sebenarnya terjadi…? Apa aku tak harus mengetahuinya?
Aku benar-benar telah menambatkan hatiku padanya, lelaki jumper coklat. Aku mencintainya. Aku menyesal tak sempat mengatakan ini.

Ini selasa ketiga, aku masih berada dalam lingkaran penantian. Menanti sosokmu yang bersembunyi dibalik waktu.

Ini selasa ketiga, aku masih berada dalam lingkaran pengharapan. Mengharap hadirmu dalam sepi hatiku.
Ini selasa ketiga, apa kau masih ingat itu?

***

Maafkanku karena sempat menghilang. Aku hanya ingin sendiri sejenak. Aku tahu kamu rindu, sama sepertiku yang teramat merindumu. Dan kini aku telah kembali, membuatmu menjadi nyonyaku, bukan untuk sesaat, tapi untuk selamanya. Aku mau kau bersedia seutuhnya menjadi milikku, menikah denganku dan mempunyai anak bersamaku. Aku mau kau bersedia kucium setiap pagi dan setiap malam, dan tidak membaginya ke yang lain. Aku bersedia menyekolahkanmu sampai kau bosan seperti yang pernah kau katakan, aku bersedia mendampingimu. Aku janji. Aku mencintaimu.

Mataku terbelalak, aku terbangun dari mimpi. Sekali lagi, aku tersedu dibuatnya.


Ciputat,
Selasa / 28 Oktober 2014

07:44 pm

Inspirasi datang di jok belakang taksi orange ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar