Selamat datang kawan kassai... Jangan lupa tetap utamakan kode etik berinternet ~_^ V -- Pengunjung yang baik selalu meninggalkan jejak lewat komentar ;) juga jadi member :D

Sabtu, 22 Oktober 2011

Gerimis di Jum'at Sore


oleh : Va Fuschida




Tak ada sentuhan angin, tak ada kicau burung, yang ada hanya awan hitam menggelayut manja di langit bumi. Pagi yang ganjil. Alev rapi dengan seragam biru-putihnya bergegas membenahi tas punggungnya bersiap menuju sekolah.
Langkah kakinya terhenti tepat di depan pintu kamar Bapakya. Suara serak batuk sang Bapak terdengar mencubit hati. Pintu kamar yang sedikit terbuka cukup untuk ia melihat betapa pucatnya bibir sang Bapak yang terbaring lemah. Untuk beberapa detik, Alev masih berdiri di depan pintu. Alev masuk perlahan, Ibu yang tengah membuka bungkusan tablet, menoleh dan tersenyum tulus.
“Ibu, Alev berangkat dulu…” Alev mengulurkan tangannya.
“Sudah sarapan?” Pertanyaan rutin yang selalu ibu lontarkan saat Alev hendak berangkat.
“Ndak lapar, Bu…” Jawaban monoton yang ia berikan setiap harinya.
“Hemph… Bergegaslah…”
“Pak, Alev berangkat.” Ia menjabat tangan Bapak lantas menciumnya hal yang sama ia lakukan dengan ibunya.
Tangan sang Bapak lemah. Alev bisa merasakan betapa Bapaknya sangat terbebeni oleh penderitaan fisiknya itu.

######

“Plak!” Tangan lebar Bapak mendarat keras di pipi kanan Alev. Rahangnya nyeri seketika, kaku dan terasa mau copot.
“Cepat ulurkan tanganmu!” Ini kali pertama bapak berkata sekasar itu pada Alev.
Untuk yang kesekian kalinya Alev menggeleng. Deru nafasnya terdengar ngos-ngosan. Keringatnya bercucuran. Matanya merah seperti hendak menangis juga seperti menahan amarah.
Di sebelahnya, Iwan, sudah mengulurkan tangannya.
“Ayo cepat salaman!” Bapak memukul gagang sapu ke pantat Alev. Alev tetap tak berkutik, tetap pada keteguhan hatinya. Tidak mau bermaafan dengan Iwan.
“Alev! Kenapa sampai begini?! Bapak nyuruh kamu ngaji dan sekolah percuma kalau maafan saja tidak sudi! Bapak kecewa! Memangnya kenapa sampai kamu berkeras hati begini?! Sampai berantem tidak jelas begini?!” Suara Bapak masih ketus.
“Iwan duluan yang nendang aku, Pak….” Telunjuknya mengarah ke wajah Iwan.
“Apa iya, Wan? Jawab jujur saja. Disini Bapak tidak membela siapa-siapa.” Ucap Bapak bijak.
“Iya. Soalnya Alev ngumpetin sandal Iwan….” Iwan membela diri.
“Bener kamu ngumpetin sandal Iwan?” Bapak masih terus menginterogasi mereka berdua.
“Soalnya dia ngejek terus!” Suara Alev meninggi. Otot di lehernya sampai mengencang.
“Ngejek apa?” Bapak masih belum lelah meluruskan kasus dua bocah nakal itu.
“Motor ceper…..” Tangis Alev pecah.
“Cengeng! Hanya karena itu? Sekedar motor-motoran kan? Cuma mainan kan? Bapak tidak pernah ngajar kamu jadi anak cengeng, Lev…..”
“Tapi Alev sakit hati,….! Coba kamu yang aku ejek begitu! Sakit kan?!” Tangan Alev menunjuk Iwan. Air matanya berleleran bercampur dengan ingus.
“Engga!” Iwan menambah volume suaranya.
“Sudah, sudah! Sekarang salaman!” Iwan mengulurkan tangannya lagi setelah sebelumnya sempat diturunkan.
“Alev! Kamu tidak mau salaman? Bapak guyur pake air lho! Cepat!” Bapak mengancam. Namun Alev tetap diam.
Bapak segera beranjak dan kembali dengan sebaskom air bak. Bapak tak pernah main-main dalam kata-kata.
“Ayo maafan! Bapak tidak mau kamu tumbuh jadi anak kurang ajar tak tau diri! Sesusah apa sih mengulurkan tangan?!” Bapak terus saja menggentak. Bapak benar-benar serius. Baskom berisi air diarahkan diatas kepala Alev.
“Salaman atau Bapak guyur!”
Jawabannya tubuh Alev basah karena kucuran air bak diatas kepalanya sebab ia diam.
“Bapak sangat kecewa, Lev!” Bapak menarik tangan Alev kasar. Pulang.

#########

Semua memang tak ada yang beda, namun perasaan Alev saja yang merasa beda. Ada desiran aneh di tubuhnya. Entah pertanda apa. Semua yang telah diucapkan Pak Bas di depan kelas tak ada yang hinggap di kepalanya. Hanya seperti hembusan angin belaka.
Tubuh Alev bergetar seketika. Perutnya mulas. Pak Bas terus saja berceloteh di depan kelas. Pandangan mata Alev kabur. Dan gelap seketika.
Alev tersadar saat sayup-sayup suara Budenya bercakap entah dengan siapa. Dia kobeng, dia telah terbaring dikamarnya. Hal terakhir yang dia ingat adalah Pak Bas yang berdiri di depan kelas dengan kata-katanya yang entah apa.
“Kamu sudah sadar, Lev….” Budenya datang dengan segelas teh manis.
“Kenapa aku ndak di sekolah Bude….” Alev masih bingung.
“Tadi Pak Bas dan Zen yang nganter kamu. Kamu pingsan di sekolah. Makannya kalau sakit jangan dipaksakan masuk sekolah…”
“Ibu mana Bude….?” Alev heran, kenapa dari tadi ibu tidak ada di situ. Padahal biasanya Ibu selalu menungguinya saat sakit.
“Bapak kamu masuk Rumah Sakit, Lev. Ibu harus menungguinya. Mas Adif juga disana.”
Seperti ada guruh di hatinya. Bibir Alev yang sudah pucat menjadi semakin pucat.
“Bapak…” Gumamnya lirih…
“Bapak ndak apa-apa kok, Lev… Cuma sedikit pusing” Bude menghibur.

#########

“Kenapa Bapak tega mengguyur Alev, Pak…. Bapak tau sendiri kan, Alev mudah sakit. Tubuhnya rentan.” Sayup-sayup suara Ibu terdengar oleh sepasang telinga Alev di balik pintu kamarnya. Dia masih menangis sesegukan. Masih merasa sakit hati atas kejadian tadi.
“Kapan dia mau bersikap dewasa kalau kita terus memanja dia… Kita harus didik dia dengan baik, biar dia tau mana yang benar dan mana yang salah.” Bapak menjawab enteng.
“Tapi apa itu tidak berlebihan, Pak…?”
“Tentu saja tidak. Mendidik anak kok setengah-setengah…” Bapak masuk ke kamar.
Alev menyeka air matanya. Meskipun masih sesegukan. Sampai ia tertidur.
Esoknya suasana kembali  mengendur . Hanya saja Alev masih berdiam diri.
“Lev, kamu mau bapak belikan sepatu, sepatumu kan sudah rusak…” Bapak mengawali.
Alev mendongak, memperhatikan Bapak. Terkejut dan bahagia.
“Benarkah, Pak? Alev senang sekali.” Alev berdiri dan memeluk Bapak. Sesekali melihat kearah sepatunya yang usang dan robek di ujungnya. Selama 4 tahun Alev duduk di bangku Sekolah Dasar, Baru dua kali ia kenakan sepatu “baru”. Baru bagi Alev adalah belum pernah dipakainya. Meskipun itu adalah lungsuran dari kakaknya, Mas Adif.
“Yang penting kamu jangan bersikap seperti semalam lagi…”
“Iya, Pak. Alev janji, Alev akan berbaikan dengan Iwan.”
“Baguslah kalau begitu. Bapak tidak ingin jagoan Bapak jadi anak kurang ajar yang tidak tau diri. Nanti pulang sekolah kita ke pasar kota.”
“Terima kasih, Pak… Alev senang sekali.”

##########

“Bude, Aku mau jenguk Bapak…” Alev merengek.
“Tubuh kamu sakit, Alev. Besok juga Bapak mungkin sudah pulang.” Budenya tersenyum.
Hening sejenak. Alev diam. Ada rasa sesal dihatinya. Kenapa ia mesti sakit! Alev ingin menunggui Bapak. Seperti Bapak yang selalu menunggui Alev saat Alev sakit. Meskipun selalu memarahi Alev saat Alev nakal, tapi Bapak selalu sayang Alev.
Pernah, Bapak rela jual motornya gara-gara tak ada uang saat Alev memaksa minta disunat. Alev tak pernah tau penderitaan yang Bapak Alami. Dalam keadaan sakit pun, Bapak tetap bisa tersenyum. Pandai sekali Bapak berbohong. Menyembunyikan penderitaan lewat senyum tulusnya.
Tiba-tiba Alev menangis, Mengingat kembali “kejahatan-kejahatan”nya terhadap Bapak. Alev yang tak pernah tau apa yang Bapak alami. Alev yang tak pernah bisa menjadi jagoan Bapak. Alev yang selalu mengecewakan Bapak.
“Alev, kenapa kamu nangis?” Budenya kaget, langsung memberinya minum.
“Aku pengin tungguin Bapak, Bude….” Masih menangis sesegukan.
Bude memeluk Alev… Bude tau apa yang sebenarnya terjadi dengan bapaknya. Tau persis!

#########

“Prang!”
Itu suara gelas dari kamar Bapak. Semua yang mendengar suara itu segera menuju ke tempat sumber suara. Tubuh Bapak mengejang, matanya melotot. Ibu langsung menangis melihat keadaan tersebut. Segera saja bapak diangkat menuju mobil Pak Lurah yang sudah terparkir di halaman depan.
Banyak wajah-wajah bingung disekitar rumah, itu adalah wajah para tetangga yang tidak tahu menahu apa yang tengah terjadi. Ibu menangis, Bude menenangkan. Pakde ikut membopong tubuh Bapak yang semakin mengejang.
Sudah cukup lama Bapak sakit, baik Alef maupun Adif tak pernah ada yang tau apa yang diderita Bapak. Bapak tak pernah terlihat lemah di depan mereka. Bapak sangat pandai menyembunyikan sesuatu dari mereka. Sampai sakit pun, Bapak masih menyembunyikannya.
Siang tadi, obat yang di minum Bapak tak mampu redakan ngilu di hati dan pening di kepalanya. Bapak tak kuat menahan rasa sakit itu. Satelah seperempat jam Ibu memberikan obat lantas pergi untuk menjemur pakaian, Bapak membuka sendiri bungkusan tablet yang ada di meja sebelah ranjang. Bapak minum sekali lagi untuk dosis satu waktu. Namun Bapak tak kunjung merasakan lebih baik. Justru Ia merasa hatinya diremas-remas, kepalanya seperti dipukul beribu durian. Tubuhnya tiba-tiba menggigil, bayangan di depannya kabur. Bapak ingin sekali berteriak, namun tenggorokannya tercekat. Seperti ada yang mencekik. Tangan Bapak meraba meja, sengaja Ia sentuh gelas dan menjatuhkannya untuk isyarat memanggil siapa saja yang ada di rumah itu.
Ibu tersentak melihat kondisi Bapak, secara spontan Ibu berteriak memanggil Bude dan Pakde. Semuanya kalut, begitu juga para tetangga yang berbondong-bondong merespon teriakan Ibu.
Pak Lurah yang rumahnya tepat di depan rumah Alev, langsung menawarkan mobilnya untuk membawa bapak ke Rumah Sakit.

#########

Uiuiuiuiuiuiiuiuiuiuiuiiuiiuiuiuiiuiuiuiiuiui…
Suara ambulance mendekat ke rumah Alev. Alev terkejut, Ia segera bangun dari ranjangnya.
Terdengar suara tangisan. Itu suara Ibu! Ada rasa tak nyaman di hatinya. Sinyal itu semakin kuat, Alev tau ini. Alev Paham!
Segera Ia berlari ke depan. Seorang tertutup kain jarit diturunkan dari Ambulance. Alev Paham! Spontan Ia berlari memeluk tubuh kaku itu. Bapak sudah pucat. Bapak sudah tak berdaya. Bapak telah pergi…
Aliran air berhulu di sudut matanya semakin deras. Alev menangis.

#########

Aroma khas tanah pemakaman semakin menderaskan air mata yang dikeluarkan Alev. Gundukan tanah merah di hadapannya telah tertutup warna-warni bunga. Alev masih bersimpuh disisi makam Bapak. Para pelayat satu per satu telah pergi. Kini hanya Alev bersama Ibu dan Mas Adif. Mereka berdua berdiri di belakang Alev yang semakin larut bersama kenangan masa lalu tentang Bapak. Bapak yang selalu ada untuknya. Bapak yang selalu tampak kuat di hadapannya. Bapak yang selalu memberinya nasihat. Bapak yang selalu membuat dia tersenyum.
Kebaikan Bapak, kemarahan Bapak, keceriaan Bapak, kejengkelan Bapak, silih berganti mengisi bayangan di benaknya. Alev bisa membayangkan Bapak yang tertimbun tanah sendirian di dalam sana. Tangis Alev semakin menjadi namun tak ada suara diantara tangisnya.
Gerimis turun ke bumi. Langit turut menangis atas kepergian Bapak. Membasahi makam Bapak. Membasahi tubuh Alev. Membasuh hati Alev dari ketidak ikhlasan.
Jum’at sore yang tak pernah terlupakan.

%%%%%%*******%%%%%%
^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar